Sabtu, 06 Agustus 2011

Sekilas sejarah wayang di Indonesia

Pewayanganwayang berasal dari kata wayangan yaitu sumber ilham dalam menggambar wujud tokoh dan cerita sehingga bisa tergambar jelas dalam batin si penggambar karena sumber aslinya telah hilang, di awalnya, wayang adalah bagian dari kegiatan religi animism menyembah ‘hyang’, itulah inti-nya dilakukan antara lain di saat-saat panenan atau taneman dalam bentuk upacara ruwatan, tingkeban, ataupun ‘merti desa’ agar panen berhasil atau pun agar desa terhindar dari segala mala (masih ingat lakon ‘sudamala’, kan?)di tahun (898 – 910) M wayang sudah menjadi wayang purwa namun tetap masih ditujukan untuk menyembah para sanghyang seperti yang tertulis dalam prasasti balitung sigaligi mawayang buat hyang, macarita bhima ya kumara (terjemahan kasaran-nya kira-kira begini : menggelar wayang untuk para hyang menceritakan tentang bima sang kumara) di jaman mataram hindu ini, ramayana dari india berhasil dituliskan dalam bahasa jawa kuna (kawi) pada masa raja darmawangsa, 996 – 1042 M


mahabharata yang berbahasa sansekerta delapan belas parwa dirakit menjadi sembilan parwa bahasa jawa kuna lalu arjuna wiwaha berhasil disusun oleh mpu kanwa di masa raja erlangga
sampai di jaman kerajaan kediri dan raja jayabaya mpu sedah mulai menyusun serat bharatayuda yang lalu diselesaikan oleh mpu panuluh tak puas dengan itu saja, mpu panuluh lalu menyusun serat hariwangsa dan kemudian serat gatutkacasraya menurut serat centhini, sang jayabaya lah yang memerintahkan menuliskan ke rontal (daun lontar, disusun seperti kerai, disatukan dengan tali) di jaman awal majapahit wayang digambar di kertas jawi (saya juga tidak tahu, apa arti ‘kertas jawi’ ini ) dan sudah dilengkapi dengan berbagai hiasan pakaian
masa-masa awal abad sepuluh bisa kita sebut sebagai globalisasi tahap satu ke tanah jawa
kepercayaan animisme mulai digeser oleh pengaruh agama hindu yang membuat ‘naik’-nya pamor tokoh ‘dewa’ yang kini ‘ditempatkan’ berada di atas ‘hyang’
abad duabelas sampai abad limabelas adalah masa ‘sekularisasi’ wayang tahap satu dengan mulai disusunnya berbagai mythos yang mengagungkan para raja sebagai keturunan langsung para dewa abad limabelas adalah dimulainya globalisasi jawa tahap dua kini pengaruh budaya islam yang mulai meresap tanpa terasa dan pada awal abad keenambelas berdirilah kerajaan demak ( 1500 – 1550 M ) ternyata banyak kaidah wayang yang berbenturan dengan ajaran islam maka raden patah memerintahkan mengubah beberapa aturan wayang yang segera dilaksanakan oleh para wali secara gotongroyong wayang beber karya prabangkara (jaman majapahit) segera direka-ulang dibuat dari kulit kerbau yang ditipiskan (di wilayah kerajaan demak masa itu, sapi tidak boleh dipotong untuk menghormati penganut hindu yang masih banyak agar tidak terjadi kerusuhan berthema sara . . . )
gambar dibuat menyamping, tangan dipanjangkan, digapit dengan penguat tanduk kerbau, dan disimping sunan bonang menyusun struktur dramatika-nya sunan prawata menambahkan tokoh raksasa dan kera dan juga menambahkan beberapa skenario cerita raden patah menambahkan tokoh gajah dan wayang prampogan sunan kalijaga mengubah sarana pertunjukan yang awalnya dari kayu kini terdiri dari batang pisang, blencong, kotak wayang, dan gunungan
sunan kudus kebagian tugas men-dalang ‘suluk’ masih tetap dipertahankan, dan ditambah dengan greget saut dan adha-adha pada masa sultan trenggana bentuk wayang semakin dipermanis lagi mata, mulut, dan telinga mulai ditatahkan (tadinya hanya digambarkan di kulit kerbau tipis) susuhunan ratu tunggal, pengganti sultan trenggana, tidak mau kalah dia ciptakan model mata liyepan dan thelengan (joan crawford pun mestinya bayar royalti pada dia, nih !)
selain wayang purwa sang ratu juga memunculkan wayang gedhog yang hanya digelar di lingkungan dalam keraton saja
sementara untuk konsumsi rakyat jelata sunan bonang menyusun wayang damarwulan jaman kerajaan pajang memberikan ciri khas baru wayang gedhog dan wayang kulit mulai ditatah tiga dimensi (mulai ada lekukan pada tatahan) bentuk wayang semakin ditata : raja dan ratu memakai mahkota/topong rambut para satria mulai ditata, memakai praba dan juga mulai ditambahkan celana dan kain
di jaman ini pula lah sunan kudus memperkenalkan wayang golek dari kayu sedang sunan kalijaga menyusun wayang topeng dari kisah-kisah wayang gedog dengan demikian wayang gedog pun sudah mulai memasyarakat di luar keratin di masa mataram islam wayang semakin berkembang
panembahan senapati menambahkan berbagai tokoh burung dan hewan hutan dan rambut wayang ditatah semakin halus sultan agung anyakrawati menambahkan unsur gerak pada wayang kulit pundak, siku, dan pergelangan wayang mulai diberi sendi posisi tangan berbentuk ‘nyempurit’ dengan adanya inovasi ini muncul pula tokoh baru : cakil, tokoh raksasa bertubuh ramping yang sangat gesit dan cekatan sultan agung anyakrakusuma, pengganti beliau, ikut menyumbang bentuk mata semakin diperbanyak dan pada beberapa tokoh dibuat beberapa wanda (bentuk)
setelah semua selesai dilaksanakan, diciptakan seorang tokoh baru raksasa berambut merah bertaji seperti kuku yang akhirnya disebut ‘buta prapatan’ atau ‘buta rambutgeni’ (catatan hms : mungkinkah ini ada kaitannya dengan berdirinya voc di tahun 1602 ? ) berbagai inovasi dan reka-ulang wayang masih terus berlangsung dari jaman mataram islam sampai jaman sekarang
a.l. dengan munculnya ide-ide ‘nyeleneh’ para dhalang berbagai peralatan elektronis mulai ikut berperan dalam tata panggung maupun perangkat gamelan begitu pula dalam hal tata pakaian yang dikenakan oleh ki dhalang, pesinden, maupun para juru karawitan dalam hal skenario-nya pun senantiasa ada pergeseran sehingga kini sudah semakin sulit dihakimi
mana yang cerita ‘pakem’ dan mana ‘carangan’ (cerita tentang asal-usul semar, misalnya, ada beberapa versi yang semuanya layak untuk dipelajari )

Asal Usul Nama Tuban

Raden Patah adalah Putra majapahit. Oleh ayahnya, ia diberi hutan Glagahwangi agar dibuka dan dijadikan kadipaten(kabupaten). Raden Patah berhasil membuka hutan itu dan membangunnya menjadi kadipaten. Kadipaten itu diberi nama Kadipaten Demak Bintara.
                Kadipaten Demak Bintara semakin lama semakin besar. Banyak Kadipaten kecil yang dulu masuk wilayah Kerajaan Majapahit bergabung ke Kadipaten Demak Bintara.
                Raden Patah juga mendapat dukungan dari para Wali penyebar Agama Islam di Jawa. Oleh karena itu, Kadipaten Demak Bintara pun menjadi kuat dan besar hingga menjadi kerajaan.
                Pada suatu ketika, Raden Patah mendengar bahwa kerajaan Majapahit diserang oleh Raja Girindrawardhana dari Daha. Ayahnya yang menjadi  Raja Majapahit melarikan diri tak tentu beritanya.
                Timbulah kemarahan Raden Patah kepada Raja Girindrawardhana. Raden Patah segera menyusun kekuatan pasukan. Ia ingin menyerang Raja Girindrawardhana yang telah menduduki Majapahit. Keinginan Raden Patah didukung oleh para Wali.
                Serangan ke Majapahit segera dilakukan oleh Raden Patah. Pasukan Kerajaan Demak Bintara yang besar dapat mengalahkan pasukan Raja Girindrawardhana. Raja Girindrawardhana pun melarikan diri dan kembali ke Daha.
                Raden Patah pun mengumpulkan semua benda benda berharga dan benda keramat yang ada di Istana Majapahit. Semua benda itu hendak dibawanya ke Demak Bintara. Benda-benda itu berupa mahkota emas, tombak-tombak pusaka, keris-keris pusaka dan patung-patung emas.
                Semua benda itu sudah dikemas dan dimasukkan ke kereta, siap untuk dibawa ke Demak Bintara. Yang masih tersisa hanya dua buah batu (watu). Raden Patah ingin membawa dua buah batu itu juga. Namun, semua kereta sudah penuh.
          “Aku ingin membawa dua batu ini juga. Namun, semua kereta sudah penuh. Coba, siapa di antara para prajurit yang sanggup membawa dua batu ini ke Demak Bintara?” tanya Raden Patah pada prajuritnya.
                Semua prajurit diam. Tak yang sanggup membawa dua batu itu ke Demak Bintara. Salah seorang Wali segera mendekati Raden Patah.
          “Maaf, Raden! Para prajurit tentu tak akan ada yang sanggup membawa dua batu itu ke Demak Bintara. Perjalanan dari Majapahit ke Demak Bintara sangatlah jauh.” Kata Wali itu.
           “Lalu, bagaimana caranya dua batu ini bisa sampai ke Demak Bintara, Bapa Wali?”
           “Biarlah hamba minta bantuan pada dua ekor burung bangau yang sedang bertengger di dahan pohon itu!” Kata sang Wali sambil menunjuk ke sebuah pohon.
                Sang Wali itu melambaikan tangannya pada dua ekor burung bangau di dahan pohon. Kedua burung bangau itu seakan mengerti. Mereka segera terbang meninggalkan dahan pohon itu, lalu hinggap di tanah di depan Wali yang memanggilnya.
           “Maaf, burung bangau! Kami butuh bantuanmu untuk membawa dua buah batu ke Demak Bintara. Kuharap kalian ikhlas membantu kami. Tuhan tentu akan mencatat amal perbuatan baik kalian ini.” Kata sang Wali.
                Sang Wali pun menyuruh dua orang prajurit meletakkan dua buah batu itu ke masing-masing punggung dua ekor bangau. Kedua bangau itu segera terbang sambil membawa sebuah batu di punggung masing-masing. Mereka terbang ke arah Demak Bintara.
                Kedua bangau itu melintas di atas sebuah tanah lapang. Tanah lapang itu ditumbuhi rumput hijau yang subur. Banyak para gembala itu melihat dua ekor burung bangau dengan sebuah batu di punggungnya.
           “Hei, lihat itu! Ada dua ekor burung bangau yang aneh. Di punggungnya ada sebuah batu.” Teriak seorang gembala.
           “Benar! Terbangnya   sangat lambat. Seperti jalannya kura-kura saja, ya?” sahut gembala yang lain.
                Kedua bangau itu marah diejek jalannya seperti kura-kura. Mereka pun ingin mempercepat terbangnya. Dikepakkan kedua sayapnya dengan cepat. Hasilnya, bukannya terbang semakin cepat, melainkan kedua sayap mereka terasa lelah.
                Kedua bangau itu hampir meluncur jatuh. Untunglah mereka segera menjatuhkan kedua batu itu dari punggungnya. Dua buah batu meluncur jatuh  ke tanah. Para gembala yang melihat kejadian itu berteriak-teriak.
           “Watu tiban (batu jatuh)! Watu tiban!”
                Teriakan para gembala itu didengar  banyak orang di desa. Peristiwa watu tiban itu pun tersiar kemana-mana. Menjadi bahan pembicaraan banyak orang, sehingga ucapan watu tiban pun tersingkat. Watu menjadi tu dan tiban menjadi ban. Akhirnya daerah itu dinamakan Tuban.

Kesimpulan
Cerita ini termasuk legenda.
Legenda ini sangat dikenal di daerah Tuban, Jawa Timur. Konon dua batu yang dibawa dua burung bangau itu masih ada hingga sekarang. Dua batu itu barupa dua batu yoni yang berangka tahun 1400 Saka. Dua batu yoni itu sekarang berada di pekarangan rumah warga yang letaknya tak jauh dari makam sunan  Bonang.
            Cerita ini memberi pelajaran kepada kita agar jangan suka menghina pekerjaan orang lain. Seseorang yang dihina ketika bekerja, tentu tak akan dapat menyelesaikan pekerjannya dengan baik. Yang lebih baik adalah menghormati orang yang bekerja itu. Kalau perlu, membantuya agar pekerjaan itu selesai dengan baik.

Jumat, 05 Agustus 2011

Menelusuri Jejak Walisongo di Goa Akbar Tuban

Legenda yang menyelimuti Goa Akbar Tuban nampak terlihat dalam perpaduan dengan kepercayaan masyarakat setempat dan prakiraan sejarah. Seperti yang terdapat pada dua buah batu di mushala sebelum pintu keluar goa. Sepintas, kedua patung tersebut mirip dengan bentuk singa.
“Ada kepercayaan di masyarakat kalau kedua singa itu diperintahkan menjaga goa (Akbar),” kata Rusdi, warga Desa Cengkong, Kecamatan Parengan, yang sejak 10 terakhir terus mengumpulkan dan mencari jejak-jejak sejarah yang berkaitan dengan Tuban.
Rusdi menyebutkan, di depan musholla juga terdapat ruang yang sangat luas yang dikenal sebagai paseban para wali, atau tempat para wali menyampaikan melakukan syiar Islam ketika itu.
“Paseban itu mirip dengan  ruang pertemuan. Stalagtit dan stalagmit juga seakan menjadi hiasan ruangan. Termasuk adanya bebatuan  besar yang berada di bagian depan ruang, seperti sebuah podium bagi pembicara,” ungkap Rusdi.
Di dalam Goa Akbar yang kini telah disulap menjadi salah satu obyek pariwisata Kabupaten Tuban ini, kata Rusdi, ada pula batu yang disebut gamping watu nogo, yang dipercaya sebagai tempat pertapaan Sunan Kalijogo.
Di bawah batu yang menjorok ke depan itu terdapat kolam. Diceritakan Rusdi, kolam itu kadang bergolak dan mengepulkan asap, seakan ada dua ekor naga di dalamnya. Sedang di pojok ruangan mushola juga terdapat sebuah ceruk yang diberi lampu berwarna merah.
Menurut cerita, tutur Rusdi, selain tapak Sunan Kalijogo dan Sunan Bonang, ada Sunan Bejagung yang juga pernah bertapa di goa ini. Dalam cerita rakyat, Sunan Bejagung awalnya adalah petani biasa yang suka menanam jagung. Namun, ia memiliki kesaktian lebih. Setiap siang ia tak nampak dalam goa. Pada saat itu ia telah berada di Mekah untuk membantu menyalakan pelita.
“Di dalam Goa Akbar juga terdapat sumber air alami. Sumber air yang diberi nama kedung Tirta agung. Menurut cerita,  airnya baru mengalir deras setelah era tahun 1990-an. Pada waktu malam takbiran Idul Fitri, bupati Tuban mengadakan syukuran di dekat sumber mata air sambil membawa ayam hitam. Tiba-tiba air mengucur deras. Hingga kini, air tersebut diyakini memiliki khasiat, baik untuk kesehatan maupun untuk kekuatan,” kisah Rusdi.
Diungkapkan Rusdi, sesungguhnya masih banyak lorong yang tampaknya belum dieksplorasi di Goa Akbar. Melihat struktur tanah di kawasan ini banyak mengandung kapur, tidak heran jika goa-goa di Tuban memiliki stalagtit dan stalagmit yang berbeda. Belum dieksplorasinya lorong-lorong di Goa Akbar ini juga menyisakan kisah yang perlu digali untuk memperoleh keunikannya.
Lorong hawan samudra, salah satunya, menurut Rusdi, dipercaya tembus hingga pantai utara Tuban. Menyitir kisah yang beredar di masyarakat Rusdi mengatakan, lorong itulah yang digunakan untuk mengejar musuh kerajaan yang lari ke laut.
Sementara lorong lainnya berujung pada Goa Ngerong di Kecamatan Rengel. Legenda ini bisa jadi memiliki nilai kebenaran, mengingat prasasti malenga dan prasasti banjaran yang bertahun 1052 ditemukan di Desa Banjaragung, Kecamatan Rengel. Karena itu pula Rengel dianggap sempat menjadi pusat pemerintahan ketika itu
Lorong lainnya juga dianggap bersambungan dengan sumber air Bektiharjo. Berdasar buku 700 Tahun Tuban yang disusun R Soeparmo, tempat ini merupakan salah satu tempat asal usul Tuban. Cerita berujung ketika Raden Arya Dandang Miring membuka hutan bernama Papringan lalu keluar air, sehingga disebut Tuban (Metu Banyu: Jawa).
Secara arkeologis, Goa Akbar diperkirakan sudah berusia lebih dari 20 juta tahun. Perkiraan ini didasarkan pada temuan fosil binatang laut seperti kerang di batu-batu dan dinding goa. Temuan itu kian menguatkan posisi Goa Akbar sebagai goa fosil. Hingga kini, fosil-fosil di batu tersebut dapat disaksikan dengan jelas.
Berbagai cerita yang terkandung di dalamnya, menjadikan Goa Akbar sangat penting. Selain menarik sebagai tempat wisata, Goa Akbar juga memiliki arti penting bagi ilmu pengetahuan, baik sejarah, arkeologi, mau pun agama.Legenda yang menyelimuti Goa Akbar Tuban nampak terlihat dalam perpaduan dengan kepercayaan masyarakat setempat dan prakiraan sejarah. Seperti yang terdapat pada dua buah batu di mushala sebelum pintu keluar goa. Sepintas, kedua patung tersebut mirip dengan bentuk singa.
“Ada kepercayaan di masyarakat kalau kedua singa itu diperintahkan menjaga goa (Akbar),” kata Rusdi, warga Desa Cengkong, Kecamatan Parengan, yang sejak 10 terakhir terus mengumpulkan dan mencari jejak-jejak sejarah yang berkaitan dengan Tuban.
Rusdi menyebutkan, di depan musholla juga terdapat ruang yang sangat luas yang dikenal sebagai paseban para wali, atau tempat para wali menyampaikan melakukan syiar Islam ketika itu.
“Paseban itu mirip dengan  ruang pertemuan. Stalagtit dan stalagmit juga seakan menjadi hiasan ruangan. Termasuk adanya bebatuan  besar yang berada di bagian depan ruang, seperti sebuah podium bagi pembicara,” ungkap Rusdi.
Di dalam Goa Akbar yang kini telah disulap menjadi salah satu obyek pariwisata Kabupaten Tuban ini, kata Rusdi, ada pula batu yang disebut gamping watu nogo, yang dipercaya sebagai tempat pertapaan Sunan Kalijogo.
Di bawah batu yang menjorok ke depan itu terdapat kolam. Diceritakan Rusdi, kolam itu kadang bergolak dan mengepulkan asap, seakan ada dua ekor naga di dalamnya. Sedang di pojok ruangan mushola juga terdapat sebuah ceruk yang diberi lampu berwarna merah.
Menurut cerita, tutur Rusdi, selain tapak Sunan Kalijogo dan Sunan Bonang, ada Sunan Bejagung yang juga pernah bertapa di goa ini. Dalam cerita rakyat, Sunan Bejagung awalnya adalah petani biasa yang suka menanam jagung. Namun, ia memiliki kesaktian lebih. Setiap siang ia tak nampak dalam goa. Pada saat itu ia telah berada di Mekah untuk membantu menyalakan pelita.
“Di dalam Goa Akbar juga terdapat sumber air alami. Sumber air yang diberi nama kedung Tirta agung. Menurut cerita,  airnya baru mengalir deras setelah era tahun 1990-an. Pada waktu malam takbiran Idul Fitri, bupati Tuban mengadakan syukuran di dekat sumber mata air sambil membawa ayam hitam. Tiba-tiba air mengucur deras. Hingga kini, air tersebut diyakini memiliki khasiat, baik untuk kesehatan maupun untuk kekuatan,” kisah Rusdi.
Diungkapkan Rusdi, sesungguhnya masih banyak lorong yang tampaknya belum dieksplorasi di Goa Akbar. Melihat struktur tanah di kawasan ini banyak mengandung kapur, tidak heran jika goa-goa di Tuban memiliki stalagtit dan stalagmit yang berbeda. Belum dieksplorasinya lorong-lorong di Goa Akbar ini juga menyisakan kisah yang perlu digali untuk memperoleh keunikannya.
Lorong hawan samudra, salah satunya, menurut Rusdi, dipercaya tembus hingga pantai utara Tuban. Menyitir kisah yang beredar di masyarakat Rusdi mengatakan, lorong itulah yang digunakan untuk mengejar musuh kerajaan yang lari ke laut.
Sementara lorong lainnya berujung pada Goa Ngerong di Kecamatan Rengel. Legenda ini bisa jadi memiliki nilai kebenaran, mengingat prasasti malenga dan prasasti banjaran yang bertahun 1052 ditemukan di Desa Banjaragung, Kecamatan Rengel. Karena itu pula Rengel dianggap sempat menjadi pusat pemerintahan ketika itu
Lorong lainnya juga dianggap bersambungan dengan sumber air Bektiharjo. Berdasar buku 700 Tahun Tuban yang disusun R Soeparmo, tempat ini merupakan salah satu tempat asal usul Tuban. Cerita berujung ketika Raden Arya Dandang Miring membuka hutan bernama Papringan lalu keluar air, sehingga disebut Tuban (Metu Banyu: Jawa).
Secara arkeologis, Goa Akbar diperkirakan sudah berusia lebih dari 20 juta tahun. Perkiraan ini didasarkan pada temuan fosil binatang laut seperti kerang di batu-batu dan dinding goa. Temuan itu kian menguatkan posisi Goa Akbar sebagai goa fosil. Hingga kini, fosil-fosil di batu tersebut dapat disaksikan dengan jelas.
Berbagai cerita yang terkandung di dalamnya, menjadikan Goa Akbar sangat penting. Selain menarik sebagai tempat wisata, Goa Akbar juga memiliki arti penting bagi ilmu pengetahuan, baik sejarah, arkeologi, mau pun agama.Legenda yang menyelimuti Goa Akbar Tuban nampak terlihat dalam perpaduan dengan kepercayaan masyarakat setempat dan prakiraan sejarah. Seperti yang terdapat pada dua buah batu di mushala sebelum pintu keluar goa. Sepintas, kedua patung tersebut mirip dengan bentuk singa.
“Ada kepercayaan di masyarakat kalau kedua singa itu diperintahkan menjaga goa (Akbar),” kata Rusdi, warga Desa Cengkong, Kecamatan Parengan, yang sejak 10 terakhir terus mengumpulkan dan mencari jejak-jejak sejarah yang berkaitan dengan Tuban.
Rusdi menyebutkan, di depan musholla juga terdapat ruang yang sangat luas yang dikenal sebagai paseban para wali, atau tempat para wali menyampaikan melakukan syiar Islam ketika itu.
“Paseban itu mirip dengan  ruang pertemuan. Stalagtit dan stalagmit juga seakan menjadi hiasan ruangan. Termasuk adanya bebatuan  besar yang berada di bagian depan ruang, seperti sebuah podium bagi pembicara,” ungkap Rusdi.
Di dalam Goa Akbar yang kini telah disulap menjadi salah satu obyek pariwisata Kabupaten Tuban ini, kata Rusdi, ada pula batu yang disebut gamping watu nogo, yang dipercaya sebagai tempat pertapaan Sunan Kalijogo.
Di bawah batu yang menjorok ke depan itu terdapat kolam. Diceritakan Rusdi, kolam itu kadang bergolak dan mengepulkan asap, seakan ada dua ekor naga di dalamnya. Sedang di pojok ruangan mushola juga terdapat sebuah ceruk yang diberi lampu berwarna merah.
Menurut cerita, tutur Rusdi, selain tapak Sunan Kalijogo dan Sunan Bonang, ada Sunan Bejagung yang juga pernah bertapa di goa ini. Dalam cerita rakyat, Sunan Bejagung awalnya adalah petani biasa yang suka menanam jagung. Namun, ia memiliki kesaktian lebih. Setiap siang ia tak nampak dalam goa. Pada saat itu ia telah berada di Mekah untuk membantu menyalakan pelita.
“Di dalam Goa Akbar juga terdapat sumber air alami. Sumber air yang diberi nama kedung Tirta agung. Menurut cerita,  airnya baru mengalir deras setelah era tahun 1990-an. Pada waktu malam takbiran Idul Fitri, bupati Tuban mengadakan syukuran di dekat sumber mata air sambil membawa ayam hitam. Tiba-tiba air mengucur deras. Hingga kini, air tersebut diyakini memiliki khasiat, baik untuk kesehatan maupun untuk kekuatan,” kisah Rusdi.
Diungkapkan Rusdi, sesungguhnya masih banyak lorong yang tampaknya belum dieksplorasi di Goa Akbar. Melihat struktur tanah di kawasan ini banyak mengandung kapur, tidak heran jika goa-goa di Tuban memiliki stalagtit dan stalagmit yang berbeda. Belum dieksplorasinya lorong-lorong di Goa Akbar ini juga menyisakan kisah yang perlu digali untuk memperoleh keunikannya.
Lorong hawan samudra, salah satunya, menurut Rusdi, dipercaya tembus hingga pantai utara Tuban. Menyitir kisah yang beredar di masyarakat Rusdi mengatakan, lorong itulah yang digunakan untuk mengejar musuh kerajaan yang lari ke laut.
Sementara lorong lainnya berujung pada Goa Ngerong di Kecamatan Rengel. Legenda ini bisa jadi memiliki nilai kebenaran, mengingat prasasti malenga dan prasasti banjaran yang bertahun 1052 ditemukan di Desa Banjaragung, Kecamatan Rengel. Karena itu pula Rengel dianggap sempat menjadi pusat pemerintahan ketika itu
Lorong lainnya juga dianggap bersambungan dengan sumber air Bektiharjo. Berdasar buku 700 Tahun Tuban yang disusun R Soeparmo, tempat ini merupakan salah satu tempat asal usul Tuban. Cerita berujung ketika Raden Arya Dandang Miring membuka hutan bernama Papringan lalu keluar air, sehingga disebut Tuban (Metu Banyu: Jawa).
Secara arkeologis, Goa Akbar diperkirakan sudah berusia lebih dari 20 juta tahun. Perkiraan ini didasarkan pada temuan fosil binatang laut seperti kerang di batu-batu dan dinding goa. Temuan itu kian menguatkan posisi Goa Akbar sebagai goa fosil. Hingga kini, fosil-fosil di batu tersebut dapat disaksikan dengan jelas.
Berbagai cerita yang terkandung di dalamnya, menjadikan Goa Akbar sangat penting. Selain menarik sebagai tempat wisata, Goa Akbar juga memiliki arti penting bagi ilmu pengetahuan, baik sejarah, arkeologi, mau pun agama.